SURYA Online, SURABAYA – Pasangan suami istri Budi Wijaya – Ny Lany Guito layak disebut sebagai inspirator perlawanan diskriminasi terhadap kaum Khonghucu.
Perlawanan dilakukan dengan menggugat Kantor Catatan Sipil Surabaya yang menolak mencatat pernikahan secara Khonghucu.
Inilah pasangan Tionghoa pertama yang berhadapan secara hukum melawan Orde Baru, rezim yang mengeluarkan Inpres 14/1967 yang membatasi atribut dan tradisi Tionghoa serta tidak mengakui agama Khonghucu dan implementasinya, termasuk pernikahan.
Langkah Budi ini terbilang sangat berani. Perlawanan terjadi pada 1996, saat rezim Soeharto yang represif masih kokoh.
Langkah Budi ini pulalah yang menjadi jalan pembuka pengakuan agama Khonghucu.
“Andai mereka tak nekat, mungkin tradisi perayaan Tahun Baru Imlek tak akan pernah dirayakan di hadapan publik seperti saat-saat ini. Boleh dibilang, pernikahan ini yang menjadi pembuka jalan bagi diakuinya Khonghucu sebagai agama dan Imlek bisa dirayakan secara terbuka,” tutur Gatot Seger Santoso (65), Ketua Klenteng Boen Bio Surabaya, Rabu (29/1/2014).
Klenteng inilah yang saat itu menjadi tempat pernikahan Budi-Ny Lanny.
Ditemui Surya di Surabaya, Selasa (28/1/2014), Budi mengaku ogah disebut sebagai pahlawan di balik lahirnya pengakuan pemerintah terhadap Khonghucu sebagai agama resmi di Tanah Air.
Budi lalu bercerita pernikahannya yang bikin heboh itu. Dia dan Lany menikah pada 23 Juli 1995 di Klenteng Boen Bio.
Setelah pernikahannya dinyatakan sah secara agama, Agustus 1996, ia mendaftarkan sendiri pernikahannya itu ke Kantor Catatan Sipil Surabaya untuk mendapatkan kutipan akta nikah.
“Tetapi, pihak Catatan Sipil menolak. Mereka hanya mau mencatat pernikahan yang dilakukan menurut lima agama resmi,” ungkap Budi.
Khonghucu tidak termasuk dalam daftar lima agama resmi itu. Selain itu, Klenteng Boen Bio di Jl Kapasan, tempat Budi dan Lany menikah, tidak termasuk dalam Majelis Agama Budha yang bernaung di Walubi (Perwalian Umat Budha Indonesia).
Begitu pula, Majelis Agama Khonghucu Indonesia (Makin) Surabaya yang menikahkan Budi dan Lany tidak diakui, karena tidak dibina Departemen Agama.
Budi menceritakan, petugas di Kantor Catatan Sipil Surabaya kemudian menyarankan Budi memilih atau menuliskan agama Budha agar pernikahannya dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
Saran itu sebenarnya sudah menjadi modus bagi banyak kalangan Tionghoa untuk mendapatkan akta nikah kala itu.
“Karena merasa tidak sesuai, saya menolak,” kata Budi.
Ia lalu berkonsultasi dengan Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia). (ben/idl)
Sumebr : http://surabaya.tribunnews.com/2014/01/31/budi-ogah-sebutan-pahlawan-khonghucu